Minggu, 27 Februari 2011

cerita tentang neoliberalisme dan data kependudukan

NAMA : BAYU HIDAYATULOH
KELAS : 3EA12
NPM : 11208365
MATA KULIAH : PEREKONOMIAN INDONESIA




Neoliberalisme dan Warganegara

MUSUH kaum neoliberal adalah negara. Mereka memandang bahwa eksistensi negara itu kontradiktif bagi eksistensi pasar. Negara dipandang merusak mekanisme pasar, sehingga menimbulkan aneka macam distorsi. Milton Friedman, guru kaum neoliberal, memang tidak mau menghapus negara sama sekali. Tapi ia buru-buru mengatakan: “What the market does is to reduce greatly the range of issues that must be decided through political means, and thereby to minimize the extent to which government need participate directly in the game.” (Capitalism and Freedom, 15). Kampanye mereka selalu: negara harus sekecil-kecilnya, dan pasar seluas-luasnya.

Friedman, maupun Hayek, adalah anak zamannya. Ketika Perang Dingin memasuki fase yang paling panas, para ekonom blok kapitalis (Amerika Serikat) pada tahun 1960-an berusaha meyakinkan bahwa hanya ekonomi kapitalis saja yang paling benar dan paling sah. Tulisan-tulisan Friedman maupun Hayek pada dasarnya adalah serangan terhadap sistem ekonomi yang dijalankan di Uni Soviet, Eropa Timur, Cina, Korea Utara, dsb. “Ekonomi komando” diserang habis-habisan dengan menunjuk kepada penindasan, pelanggaran HAM, dan juga pada pada rendahnya kesejahteraan rakyat di negara-negara itu. Membaca buku Capitalism and Freedom semestinya harus dengan membayangkan apa yang terjadi di Uni Soviet, bukan dengan membayangkan Indonesia!

Dalam perkembangannya, teori neoliberal menjadi a-historis. Serta-merta dikatakan bahwa setiap cara melangsungkan ekonomi dengan sistem pasar, harus dan niscaya dilakukan dengan mengecilkan negara. Mereka lupa bahwa setiap era mempunyai masalahnya sendiri, dan bahwa setiap teori yang lahir dari sebuah era tidak bisa diterapkan begitu saja. Negara yang menindas seperti di Uni Soviet memang harus dilawan, tetapi negara di wilayah lain tidaklah berkelakuan seperti di Uni Soviet. Kampanye “emoh negara” sungguh perlu ketika negara menimbulkan penindasan dan pelanggaran HAM seperti itu.

Hilangnya paham warga negara

Tapi pemasungan negara yang diusung kaum neoliberal terlanjur dirayakan sebagai sebuah kebenaran abadi yang harus dianut oleh setiap orang di seluruh dunia. Demikianlah IMF dan World Bank di mana-mana mengabarkan bahwa harus terjadi pasar bebas, privatisasi dan deregulasi. Tapi ada sebuah dampak yang mengerikan: hilangnya paham “warganegara.” Sebagai gantinya dipakai paham “rakyat” yang berarti penghuni sebuah negara. Karena hanya ada rakyat, dan tidak ada warganegara, negara boleh tidak peduli dengan mereka (laissez faire). Rakyat harus mengurus dirinya sendiri, dengan terjun dalam arena pasar. Rakyat dipersilahkan untuk menjadi kaya, menjadi pandai, menjadi hebat, tetapi sekaligus juga dipersilahkan untuk menjadi miskin, menjadi bodoh, dan menjadi terpuruk-puruk. Kaya-miskin, pandai-bodoh, adalah urusan si rakyat.

Sebagai warganegara – demikian kata TH Marshall – dia memiliki tiga macam hak: politik, sosial dan sipil. Dia bisa menuntut bahwa kebebasannya terjamin, keamanannya terjaga, tetapi juga kesejahteraannya tidak terabaikan. Konsep warganegara menuntut bahwa negara tidak berpangku tangan terhadap warganegaranya. Dapat ditanyakan: untuk apa bernegara kalau negara tidak peduli? Para pengusung ideologi neoliberal (yang sebagian besar adalah kelompok orang yang beruntung) tentu saja setuju bahwa negara tidak peduli. Kebutuhan untuk menyusun organisasi yang disebut “negara” justru dibutuhkan oleh semua orang dalam rangka membangun kehidupan bersama yang saling peduli. Thomas Hobbes yang terkenal dengan teorinya tentang Leviathan juga tidak lupa akan makna bernegara seperti ini.

Semua adalah konsumen

Hilang konsep warganegara, sebagai gantinya dipakai konsep “konsumen.” Semua orang kini harus membeli produk. Rakyat dipersilahkan membeli produk-produk yang tersedia di pasar. Banyak hal memang bisa diserahkan kepada pasar dan rakyat membeli produk. Tapi celakanya rakyat juga harus membeli “produk pendidikan” dan “produk kesehatan,” dua hal yang tidak mungkin diserahkan kepada pasar. Kalau pendidikan dan kesehatan diserahkan kepada pasar, padahal kebutuhan dasar juga diserahkan kepada pasar, tentu tidak mungkin rakyat memenuhi pendidikan dan kesehatan. Itu sebabnya di banyak negara pendidikan dan kesehatan masih ditanggung (tidak dibantu!) oleh negara.

Hubungan “negara-warganegara” kini telah merosot menjadi “produsen-konsumen.” Negara melepaskan tanggung-jawabnya terhadap warganegara. Negara cukup menyediakan dan memberi fasilitas kepada para pengusaha swasta – lokal maupun global – untuk menghasilkan produk-produk yang bisa dibeli oleh rakyat sebagai konsumen. Hubungan jual-beli ini dijadikan pola yang paling utama dalam mengelola negara. Dengan sendirinya uang menentukan dalam segala sesuatu. Di negara dengan penduduk 49% hidup di bawah garis kemiskinan, bagaimana pola ini bisa dipertahankan?

Negara pada akhirnya malah berfungsi sebagai pelindung para pengusaha itu! Dengan senang hati negara membiarkan dan memberi izin pengusaha swasta untuk mengelola pendidikan, kesehatan, dan bahkan juga keamanan (security). Mau pintar, mau sehat, mau aman, semua dipersilahkan pergi kepada pengusaha. Istilah outsourcing tepat dipakai di sini karena negara tidak mau mengurus hal-hal yang merepotkan. Tugas negara utama bergeser melindungi pengusaha atau segelintir dari warganegara, dengan membiarkan sebagian besar warganegara menjadi konsumen atau tidak menjadi konsumen. Bahkan kalau perlu menjual warganegara menjadi tenaga kerja murah perusahaan global.

Warganegara bukanlah konsumen. Debat tentang neoliberalisme sebaiknya tidak dibatasi pada soal efisiensi ekonomi. Fakta bahwa kita adalah warga sebuah organisasi yang disebut “negara” harus mendapatkan porsi yang jelas. Untuk apa berorganisasi kalau anggota tidak memperoleh manfaat apapun? Ini yang harus dijawab juga oleh capres-capres kita.***


Ekonomi Neoliberal Ciptakan Kemerosotan

Jakarta — Kebijakan ekonomi pasar ugal-ugalan (neoliberal) yang dijalankan tim ekonomi hanya mendatangkan kemerosotan bagi bangsa Indonesia."

Para tokoh tim ekonomi neoliberal sah-sah saja melakukan bantahan, tetapi yang terjadi kondisi ekonomi Indonesia makin memburuk dan dililit utang. “Bantahan itu merupakan pernyataan tanpa makna dan terlalu dipaksakan,” kata pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit, Ichsanuddin Noorsy, Kamis (23/4).
Sebelumnya, Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati membantah kebijakan ekonomi saat ini adalah neoliberal dengan alasan kepentingan publik yang disubsidi cukup tinggi. “Bagaimana mungkin pemerintah disebut menerapkan neoliberal karena dana subsidi pernah mencapai Rp 250 triliun pada tahun 2008,” katanya dalam sambutan rakor pembangunan pusat di Gedung Bappenas, Rabu (22/4).

Ia menjelaskan dalam anggaran subsidi mencapai Rp 250 triliun 2008 dan diperuntukkan bagi subsidi pupuk, pendidikan, subsidi BBM, bahkan subsidi energi seperti elpiji. Hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak juga diberikan subsidi sangat tinggi oleh pemerintah.

Ichsanuddin mengatakan, pemerintahan menerapkan ekonomi pasar ugal-ugalan jika bergantung pada utang luar negeri, penerbitan Surat Berharga Negara serta privatisasi untuk menutup defisit APBN.

“Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sebagai anggota inti tim ekonomi, dengan gagahnya mendesak penghapusan subsidi dan pengurangan subsidi pada 2014,” tandasnya.

Ia menyatakan ada anak bangsa yang cenderung menjadi agen asing dan bertindak seperti malaikat dengan memperjuangkan dalam forum G-20 pinjaman siaga sebesar US$ 6 miliar pada pertemuan di Washington (AS) 2008. “Ekonom seperti itu mempercayai doktrin neoliberal yang mengandalkan IMF, Bank Dunia, BIS dan WTO sebagai dewa penolong untuk mencapai kesejahteraan,” tandasnya.

Menurutnya, di saat banyak negara di dunia menerapkan kebijakan ekonomi yang memihak cenderung nasionalis atau ultranasionalis, Indonesia justru menerapkan ultrainternasionalisme dalam kebijakan ekonomi.
“Di AS saja sudah ada perdebatan apakah neoliberal menyejahterakan atau membunuh, kebijakan ekonomi Indonesia justru mengabdi pada pemodal asing,” tandasnya.

Aktivis Koalisi Anti Utang (KAU) Kusfiardi menyatakan ekonomi Indonesia akan menjadi sasaran empuk pemodal asing yang memperalat para ekonom domestik. Indonesia akan memperoleh tekanan fiskal dalam menyusun APBN karena terus-menerus membayar utang yang mencekik leher. “Inilah tujuan yang ingin dicapai ekonom neoliberal yakni menjual masa depan dan harga diri bangsa sehingga kita menjadi bangsa pengemis,” ujarnya.
Ia menyatakan kebijakan ekonomi pasar ugal-ugalan hanya menghasilkan kemiskinan akut bagi mayoritas anak bangsa. “Indonesia tidak memperoleh apa-apa jika ekonom dan pemimpinnya masih mengandalkan kebijakan ekonomi seperti ini,” paparnya.
Tanpa Perubahan, Utang RI Menumpuk

Utang Indonesia, baik dari pinjaman luar negeri maupun penerbitan surat berharga negara (SBN/obligasi pemerintah), diperkirakan kian menumpuk jika tidak ada perubahan mendasar. Jebakan utang yang didesain oleh para ekonom pemerintah (ekonom Mafia Berkeley) selama 40 tahun terakhir ini akan membuat Indonesia kian terpuruk dalam lilitan utang.

“Siapa pun yang akan menjadi presiden di masa depan harus ada perubahan dalam menyelesaikan persoalan utang. Jika kebijakan ekonom masih setia pada Mafia Berkeley maka Indonesia terus dijajah melalui instrumen utang,” kata Ekonom Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy di Jakarta, Selasa (14/4).
Data menujukkan, selama lima tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jumlah nominal utang telah membengkak dari Rp 1.275 triliun pada 2004 menjadi Rp 1.667 triliun pada 11 Februari 2009. Tanpa perubahan kebijakan, utang luar negeri akan mencekik rakyat Indonesia dan para ekonom Mafia Bekeley akan bersukacita dengan situasi ini.

Ia menyatakan, pernyataan yang menegaskan tidak terhormat jika Indonesia tidak membayar utang merupakan statement tidak bertanggung jawab dan mengekalkan penjajahan asing melalui instrumen utang. “Seorang pemimpin harus melakukan terobosan besar terhadap persoalan utang. Tanpa ada perubahan kebijakan maka tidak ada yang bisa diharapkan dari pemimpin seperti itu,” tandasnya.

Noorsy mengatakan, ekonom Mafia Berkeley telah menjalankan strategi jitu guna menjerat bangsa ini melalui utang-utang baru. Jadi sebenarnya ekonom Mafia Berkeley mengirim sinyal kepada siapa pun yang terpilih agar tunduk pada garis kebijakannya. Ekonom-ekonom seperti ini melihat IMF, Bank Dunia, ADB dan lembaga pemberi utang sebagai malaikat penolong, meringankan beban defisit APBN dan berperan positif bagi pencapaian kesejahteraan rakyat.

Ia menjelaskan. jerat utang terhadap pemerintah Indonesia terlihat dari pembayaran cicilian dan bunga atas utang lama yang lebih besar dari pencairan utang baru. Selisih keduanya hampir mencapai Rp 10 triliun. Ekonom Mafia Barkeley menggunakan privatisasi BUMN dan penerbitan SBN untuk menutup selisih Rp 10 triliun tersebut.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan perubahan, yakni pemimpin yang berani melakukan terobosan. Pilihan kebijakan yang dilakukan yakni tidak membayar utang sama sekali karena utang tersebut menjadi sarang korupsi dan persekongkolan, restrukturisasi utang dan menolak utang baru sembari melakukan pengoptimalan penerimaan dalam negeri. “Prinsipnya, pemimpin baru harus setia pada konstitusi ‘45 dan mencintai rakyat melalui terobosan kebijakan,” katanya. Bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin yang sibuk pada popularitas, meninabobokan rakyat dan menyatakan kondisi perekonomian saat ini baik-baik saja.

Pembayaran utang berupa cicilan dan bunga menjadikan APBN tersandera dan tidak memiliki keleluasaan dalam membiayai program-program pendidikan, kesehatan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. “Masyarakat adil-makmur hanya ilusi jika kebijakan ekonomi pemerintah memprioritaskan pada penumpukan utang,” paparnya.

Sementara itu, ekonom dari INDEF, Imam Sugema, yang dihubungi SH secara terpisah menilai kalau saat ini visi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan Yudhoyono–Kalla masih sangat liberal, sehingga berdampak pada semakin bertambahnya angka kemiskinan.
Karenanya, siapa pun yang terpilih pada Pilpres mendatang, lanjut Imam, harus membentuk tim ekonomi yang jelas dengan visi ekonomi yang kuat dan tidak lagi berlandaskan pada sistem ekonomi liberal. “Kalau pemerintah yang akan datang tetap menerapkan sistem ekonomi yang liberal seperti saat ini, bisa dipastikan masa depan perekomian Indonesia akan semakin suram dan angka kemiskinan akan terus bertambah, sekalipun program BLT dan PNPM tetap dilanjutkan. Hal ini terjadi karena perekonomian kita sangat bergantung pada kepentingan asing,” tukasnya.

Dia juga menambahkan, akibat sistem ekonomi leberal tersebut, bangsa Indonesia juga semakin terlilit utang luar negeri. “Karena hampir seluruh proyek-proyek yang sedang dijalankan pemerintah, pendanaannya memang bersumber dari sana. Kalau bisa pola-pola semacam itu harus dibatasi oleh pemerintahan mendatang. Demikian juga dengan pengelolaan fiskal yang saat ini masih sangat boros, sehingga total utang pemerintah saat ini telah mencapai Rp 1.695 triliun,” tandasnya. (sigit wibowo/moh ridwan)

Kamis, 24 Februari 2011

Sistem perekonomian yang di ketahui oleh para manager di indonesia

NAMA : BAYU HIDAYATULLOH

KELAS : 3EA12

NPM : 11208365

MATKUL : PEREKONOMIAN INDONESIA


Sistem perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara tersebut. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semua faktor produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem ekstrim tersebut.

Selain faktor produksi, sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan alokasi. Sebuah perekonomian terencana (planned economies) memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Sementara pada perekonomian pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui penawaran dan permintaan.

* 1 Perekonomian terencana
* 2 Perekonomian pasar
* 3 Perekonomian pasar campuran

Perekonomian terencana

Ada dua bentuk utama perekonomian terencana, yaitu komunisme dan sosialisme. Sebagai wujud pemikiran Karl Marx, komunisme adalah sistem yang mengharuskan pemerintah memiliki dan menggunakan seluruh faktor produksi. Namun, lanjutnya, kepemilikan pemerintah atas faktor-faktor produksi tersebut hanyalah sementara; Ketika perekonomian masyarakat dianggap telah matang, pemerintah harus memberikan hak atas faktor-faktor produksi itu kepada para buruh. Uni Soviet dan banyak negara Eropa Timur lainnya menggunakan sistem ekonomi ini hingga akhir abad ke-20. Namun saat ini, hanya Kuba, Korea Utara, Vietnam, dan RRC yang menggunakan sistem ini. Negara-negara itu pun tidak sepenuhnya mengatur faktor produksi. China, misalnya, mulai melonggarkan peraturan dan memperbolehkan perusahaan swasta mengontrol faktor produksinya sendiri.

Perekonomian pasar

Perekonomian pasar bergantung pada kapitalisme dan liberalisme untuk menciptakan sebuah lingkungan di mana produsen dan konsumen bebas menjual dan membeli barang yang mereka inginkan (dalam batas-batas tertentu). Sebagai akibatnya, barang yang diproduksi dan harga yang berlaku ditentukan oleh mekanisme penawaran-permintaan.
[sunting] Perekonomian pasar campuran


Perekonomian pasar campuran atau mixed market economies

adalah gabungan antara sistem perekonomian pasar dan terencana. Menurut Griffin, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang benar-benar melaksanakan perekonomian pasar atau pun terencana, bahkan negara seperti Amerika Serikat. Meskipun dikenal sangat bebas, pemerintah Amerika Serikat tetap mengeluarkan beberapa peraturan yang membatasi kegiatan ekonomi. Misalnya larangan untuk menjual barang-barang tertentu untuk anak di bawah umur, pengontrolan iklan (advertising), dan lain-lain. Begitu pula dengan negara-negara perekonomian terencana. Saat ini, banyak negara-negara Blok Timur yang telah melakukan privatisasi—pengubahan status perusahaaan pemerintah menjadi perusahaan swasta.

Rabu, 23 Februari 2011

Is me

NAMA : BAYU H

KELAS : 3EA12

NPM : 11208365

MATA KULIAH : B. INDONESIA(SOFTSKIL)

AKU

Saya adalah anak k-5 dari 5 bersaudara, karna saya anak yang terakhir jadi dulu saya anak yang sangat manja. Tapi itu dulu, sekarang saya sudah tumbuh dewasa dan bukan anak kecil lagi. Saya mulai merasa berfikir lebih dewasa walau terkadang saya suka berbuat nakal. Itu mungkin karna saya masih muda dan masih ingin bersenang-senang, dan juga ini adalah proses pencarian jati diri menurut saya. Saya memang terlihat orang yang tidak pernah serius, memang saya suka bercanda tapi itu hanya di luarnya saja. Saya bisa koq bersikap serius dan gak main-main tergantung sikon dan juga keadaan suasana hati.
Hoby saya adalah olah raga, hampir semua olah raga saya sukai. Tapi saya lebih menyukai badminton, saya sendiri juga tidak tau mengapa saya sangat menyukai olah raga ini mungkin karna semua keluaga saya menyukai olah raga ini. Saya sempat memiliki cita-cita untuk menjadi atlit badminton tapi itu dulu waktu masih anak-anak klo sekarang cii cita-cita saya simpel saja, saya cuma pengen jadi orang yang sukses dan bisa ngebahagia'n ortu karna menurut saya klo orang udah sukses akan dengan mudah ngebahagia'n orang-orang disekeliling kita asalkan kita tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang-orang disekeliling kita. Memang kedengarannya tidak mudah tapi setiap manusia kan boleh berangan-angan, anggap aja itu sebagai motivasi untuk meraih apa yang ingin dicapai. Saya juga memiliki moto hidup yaitu "Muda bahagia, tua kaya raya, mati masuk surga". Kesannya itu memaksa tapi saya yakin setiap orang pasti memiliki keinginan seperti itu.
Semoga apa yang saya tuangkan dalam blog ini menjadi kenyataan kelak.
AMIN ! ! !

langkah-langkah membuat laporan ilmiah

NAMA : BAYU H

KELAS : 3EA12

NPM : 11208365

MATA KULIAH : B. INDONESIA(SOFTSKIL)




Cara Penulisan Laporan Ilmiah

Format laporan ilmiah
Ada berbagai macam format penulisan .Namun perbedaan di antara format format yang ada jangan terlalu dipermasalahkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah:

1. Pembaca dapat memahami dengan jelas bahwa penelitian telah dilakukan tujuan dan hasilnya.
2. Langkah – langkah medannya jelas , agar jika pembaca tertarik dapat mengulang kembali.

Pada dasarnya ada dua bentuk sistematika penulisan ilmiah ,Yaitu penulisan proposal penelitian dan laporan hasil penelitian . Pada umumnya sistematika penulisan proposal penelitian danpenulisan laporan penelitian sebagai berikut :
Bagian awal

1. halaman judul
2. Halamn persetujuan dan pengesahan (pada laporan penelitian ,sebelum halaman kata pengantar dicantumkan intisari /abstrak)
3. Halamn kata pengantar atau prakata
4. Daftar isi
5. Daftar tabel (jika ada)
6. Daftar gambar (jika ada)
7. Daftar lampiran (jika ada)

Bagian Utama
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
2. Rumusan masalah
3. Tujuan penelitian
4. Ruang lingkup
5. Manfaat penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Landasan teori/ tinjauan teoretis
2. Kerangak teori
3. Kerangka konsep
4. Hipotesis atau pertamyaan penelitian (jika ada hipotesis)

BAB III METODE PENELITIAN ATAU CARA PENELITIAN

* Jenis penelitian
* Populasi sample (untuk penelitian disertai unit penelitian )
* Variabel penelitian (untuk penelitian laboratorium / eksperimental, sebelum variabel penelitian dicantumkan bahan dan alat)
* Definisi operasioanal variabel atau istilah –istilah lain yang digunakan untuk memberi batasan operasional agar jelas yang dimahsud dalam penelitian itu.
* Desain / rancangan penelitian ( tidak harus , kecuali pada penelitian eksperimental)
* Lokasi dan waktu penelitian
* Teknik pengumplan data.
* Instrumen penelitian yang digunakan
* Pengolahan dan Analisis data

Khusus laporan penelitian dilanjutkan dengan bab IV -VI berikut ini :

BAB IV – HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI – RINGKASAN

Bagian Akhir

1. Daftar pustaka

2. Lampiran – lampiran;
# Instrumen penelitian
# Berbagai data sekunder yang diperlukan
# Anggaran penelitian
# Jadwal penelitian

PEREKONOMIAN INDONESIA

NAMA : BAYU

KELAS : 3EA12

NPM : 11208365



perlukah campur tangan pemerintah dalam perekonomian

Peran Negara di Dalam Perekonomian

Keberhasilan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia Timur sebelum krisis yang melanda pada tahun 1997-1998 kerap diasosiasikan dengan kuatnya peranan pemerintah. Tak seperti di negara-negara Barat yang mengutamakan mekanisme pasar dan mendudukkan pemerintah pada peran ekonomi yang seminimal mungkin, di negara-negara Asia Timur pemerintah dan swasta berinteraksi dalam suatu jalinan kelembagaan yang memungkinkan terpacunya pertumbuhan usaha atau industri yang efisien dan berdaya saing. Sebelum krisis tak sedikit ekonom liberal atau neoklasik yang bersikukuh bahwa keberhasilan Asia Timur tetap bisa dijelaskan sepenuhnya dengan kerangka teori yang mereka yakini. Bahkan di antara mereka ada yang mencibir dengan mengungkapkan hasil-hasil penelitiannya yang mengindikasikan bahwa era pertumbuhan tinggi di Asia Timur sudah hampir berakhir, karena yang menjadi topangannya selama ini -yaitu tenaga kerja murah, sumber daya alam, dan modal pinjaman murah- tak bisa lagi terus menerus diandalkan.Kapitalisme atau liberalisme memang telah membuktikan keampuhannya dalam memak-murkan masyarakat (sekurang-kurangnya sebagian dalam proporsi yang signifikan). Namun, ditinjau dari kacamata pembangunan fisik semata, komunisme juga mampu melakukannya walaupun tidak sehebat Kapitalisme. Fenomena keberhasilan Asia Timur juga membuktikan bahwa kapitalisme a la Barat bukan satu-satunya sistem yang menjamin keberhasilan ekonomi. Persoalannya kian pelik kalau yang menjadi tolok ukur keberhasilan tak semata-mata aspek materi, melainkan juga penguatan harkat dan martabat umat manusia. Sejauh ini kita bisa mengatakan, paling tidak komunisme telah gagal mengangkat harkat dan martabat masyarakatnya. Sebaliknya, tak ada yang bisa menjamin bahwa sistem yang diterapkan di Barat maupun Asia Timur akan terus mampu dan berhasil mempertahankan kesinambungan sukses ekonomi, apalagi sekaligus memperkokoh harkat dan martabat manusianya.

Dari pengalaman banyak negara kita bisa menarik hikmah bahwa sepanjang itu rekayasa manusia, tak ada yang bersifat langgeng. Segalanya akan dan harus berubah sejalan dengan tuntutan masa. Kapitalisme yang kita kenal dewasa ini sudah jauh berbeda dengan sosok idealnya. Demikian pula dengan demokrasi, sangat berbeda bentuknya dibandingkan dengan yang diidealkan oleh Jean Jacques Rousseau. Bagi Indonesia yang belum memiliki sosok yang jelas, seharusnya bisa lebih banyak belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan sistem-sistem yang sejauh ini telah diterapkan. Akan terlalu panjang dan berliku perjalanan yang harus dilalui kalau kita membusungkan dada dengan tekad, yang tak pernah terealisasikan, mencari sendiri sistem yang paling “tepat” bagi kita, kecuali jika kita benar-benar mampu menjabarkan sepenuhnya hukum-hukum Ilahiah. Mencari boleh-boleh saja, tetapi jangan memasang target kelewat tinggi yang tidak realistik.

Campur tangan pemerintah di dalam perekonomian memang tak perlu dipandang sebagai pantangan. Keberhasilan negara-negara Asia Timur bahkan dicirikan oleh kuatnya campur tangan pemerintah. Tetapi sebaliknya, banyak campur tangan tak menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi. Banyaknya campur tangan pemerintah juga tak otomatis mencerminkan kuatnya peranan pemerintah, apalagi kalau bercampur baur dengan kepentingan pribadi atau motif politik elit penguasa. Jadi sejak awal harus dibedakan dengan tegas antara kepentingan pemerintah yang mewakili secara sah kedaulatan rakyat dengan kepentingan pribadi-pribadi elit penguasa. Kalau pada tahap ini saja kita sudah kehilangan jejak, jangan banyak berharap campur tangan pemerintah akan memberikan dampak positif yang lebih besar ketimbang dampak negatifnya.

Campur tangan harus diiringi dengan otonomi pemerintah-bahkan ada yang berpendapat harus dengan strong autonomy of state-dalam memformulasikan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan menerapkannya. Otonomi ini pun merupakan suatu syarat perlu (necessary condition), jadi belum tentu menjamin keberhasilan, karena pada gilirannya bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menerapkan otonomi itu sendiri. Di sini kita bicara kapasitas pemerintah untuk membaca medan laga, mempertimbangkan daya absorpsi sosial-politik masyarakat yang dihadapinya, yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian tak ada bentuk final dari sosok keterlibatan pemerintah yang optimal. Yang penting adalah kemampuan suatu sistem untuk beradaptasi dengan lingkungan dan tantangan baru.