Selasa, 28 September 2010

JURNAL KESEHATAN

Nama : Bayu Hidayatulloh
kelas : 3EA12
NPM : 11208365

jurnal 1

HUBUNGAN POLA PERAWATAN PADA ANAK UBERKULOSIS
PARU PRIMER DENGAN LAMA PENYEMBUHAN PADA ANAK
USIA 1-6 TAHUN DI DESA CIBUNTU CIBITUNG BEKASI 2007

Oleh : Yomah Yuliana

ABSTRAK

Background: Pola perawatan orang tua terhadap anak TB Paru primer dapat
mendukung masa penyembuhan pasien, yang meliputi: lingkungan
perumahan,pemantauan pengobatan, pemenuhan kebutuhan nutrisi,
pemenuhan istirahat, perawatan masalah khusus pada gangguan pernafasan
dan pemenuhan rasa nyaman (Ngatsiyah, 2003). Menurut Bahar 2001,
pengobatan pasien TB dalam jangka waktu yang panjang dan telah melebihi
masa penyembuhan yang semestinya (6-9 bulan) akan memerlukan biaya
yang lebih banyak, dengan ditemukannya rifampisin terjadi
semacam”minirevolusi” dalam kemo terapi terhadap tuberculosis, karena
jangka waktu pengobatan dapat dipersingkat menjadi 6-9 bulan. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara pola perawatan pada
anak TB Paru primer dengan lama penyembuhan pada anak usia 1-6 tahun di
desa Cibuntu, Cibitung, Bekasi.

Methods: Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen yang bersifat
deskriptif. Dengan menggunakan pendekatan retrospektif. Penelitian ini
dilakukan di desa Cibuntu, Cibitung, Bekasi. Teknik pengambilan sampel
dengan menggunakan teknik sampel jenuh dengan jumlah responden
sebanyak 30 orang yang terdiri dari ibu-ibu yang anaknya menderita TB Paru
primerdan berusia 1-6 tahun. Pengambilan data dilakukan antara bulan
Agustus sampai September 2007 dengan menggunakan kuesioner dan data
dari identitas penderita. Analisa data dengan menggunakan koefsien biserial.

Result: Hasil hipotesis diperoleh koefisien korelasi sebesar r= 0,898 dengan
taraf signifikan 0,05 hal ini menunjukkan hubungan antara pola perawatan
pada anak TB Paru primer dengan lama penyemuhan usia 1-6 tahun.
Kesimpulan: Semakin baik pola perawatan ibu pada anak TB Paru primer
maka semakin cepat proses penyembuhannya.

Kata kunci: Pola perawatan, lama penyembuhan, anak usia 1-6 tahun.
















PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan
nasional dan keduanya saling terkait. Tujuan pembangunan kesehatan
adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosial. Upaya
tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah Republik Indonesia yang di
kenal dengan “Indonesia Sehat 2010”, yang pada intinya menekankan peran
serta aktif masyarakat untuk memelihara kesehatan secara mandiri (Dep Kes
RI, 2000).
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang telah lama dikenal.
Penyakit ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat
terutama di negara yang sedang berkembang. Tuberculosis merupakan
penyebab utama kematian diantara berbagai infeksi yang dilaporkan.
Penyakit ini sangat menular dan menyerang semua umur.
Indonesia diantara tiga juta penduduk yang suspek tuberkulosis,
220.000 dengan sputum BTA positif atau 2,4 per seribu penduduk. Menurut
Amin (1999), tuberkulosis merupakan penyakit nomer satu dan merupakan
penyebab kematian nomer tiga.
Tujuan jangka panjang yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian dengan cara memutuskan rantai penularan. Sementara tujuan
jangka pendeknya adalah tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari
semua penderita baru yang ditemukan serta tercapainya cakupan penemuan
penderita secara bertahap sehingga pada tahun 2005 dapat mencapai 70%
(Dep Kes RI, 2001).
Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkan target program adalah
angka konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka
kesembuhan minimal 85% dari kasus baru. Selain itu penyediaan OAT
diberikan secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaanya (Dep kes RI, 2001).
Lebih dari 100 tahun tuberkulosis masih merupakan sebuah masalah
kesehatan masyarakat di berbagai penjuru dunia, tetapi kini tuberculosis
dianggap sebagai suatu penyakit yang sudah dapat dicegah dan diobati
namun tetap memerlukan perhatian masyarakat (Smeltzer, 2001). Meskipun
obat – obatan dan vaksin untuk penyakit tuberculosis sudah lama ditemukan,
namun penyakit yang dikenal sejak ratusan tahun ini belum dapat
dimusnahkan.
Tuberkulosis primer disebut juga penyakit tuberkulosis pada bayi dan
anak serta merupakan penyakit sistemik, juga penyakit menular yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosa tipe humanus ( jarang oleh
tipe Mycobacterium bovines ). Mycobacterium tuberculosa masuk melalui
saluran nafas (droplet infection) sampai alveoli terjadilah infeksi primer. Lesi
di dalam paru dapat terjadi dimanapun terutama di perifer dekat pleura. Lebih
banyak terjadi di bagian bawah paru dibandingkan dengan bagian atas.
Pembesaran kelenjar regional lebih banyak terdapat pada anak dan
penyembuhan terutama kearah kalsifikasi serta penyebaran hematogen lebih
banyak terjadi pada bayi dan anak kecil (Ngastiyah, 2003).
Tuberculosis primer cenderung sembuh sendiri, akan tetapi sebagian
besar menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Juga dapat
meluas kedalam jaringan paru sendiri. Basil tuberculosis dapat masuk
langsung ke dalam aliran darah atau melalui kelenjar getah bening. Didalam
aliran darah basil dapat mati atau dapat pula berkembang terus, hal ini
tergantung pada keadaan pasien serta virulensi kuman. Melalui aliran darah
basil dapat mencapai alat tubuh lain seperti selaput otak, tulang, hati, ginjal,
dan lainnya.
Menurut Kusmardhani (1995), tuberkulosis pada anak berhubungan
erat dengan gangguan nutrisi yang mengandung gizi yang akan
mempengaruhi tumbuh kembang anak. Komplikasi yang merupakan
penyebaran patogen pada tuberkulosis anak dapat terjadi di tulang, kelenjar
getah bening dan penyebaran dapat menyebabkan tuberkulosis milier dan
meningitis tuberkulosis yang mengenai selaput otak sehingga terjadi keadaan
morbiditas dan mortalitas yang besar terutama pada bayi dan anak kecil
(Braunwald, 2000). Selain itu juga akan timbul resistensi kuman
mycobacterium tuberculosa terhadap beberapa obat anti tuberculosis (OAT)
sebagai akibat dari pengobatan yang tidak tuntas (Depkes RI, 2000).

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum : Diketahui hubungan pola perawatan pada anak TB
primer dengan lama penyembuhan pada anak usia 1-6 tahun di Desa Cibuntu
Cibitung Bekasi tahun 2007. Sedangakn tujuan Khususnya adalah : Pertama,
diketahuinya pola perawatan pada anak TB primer di Desa Cibuntu Cibitung
Bekasi. Kedua, diketahuinya lama penyembuhan TB primer pada anak usia 1-
6 tahun di Desa Cibuntu Cibitung Bekasi.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian
Metode analisa penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskritif,
dengan suatu pendekatan retrospektif, pada anak tpenderita TB paru primer,
tetapi aspek yang diteliti adalah pola perawatan dengan lama penyembuhan.
Populasi dan sampel penelitian
Populasi adalah keseluruhan kelompok, individu atau objek yang di
minati oleh peneliti (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh anak yang Menderita tuberkulosis paru yang minimal telah
menjalankan pengobatan 6-9 bulan berdomisili di Desa Cibuntu Cibitung
Bekasi. Yang berjumlah sebanyak 30 orang.
Sampel adalah suatu bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karateristik yang dimiliki oleh populasi (Alimul A, 2003). Sampel
dalam penelitian ini menggunakan sampel jenuh yaitu semua ibu-ibu yang
anaknya menderita tuberkulosis paru primer yang berusia 1-6 tahun sebanyak
30 orang yang ditemukan dan telah menjalani pengobatan minimal 6-9 bulan
di Desa Cibuntu Cibitung Bekasi.
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan selama tanggal 3 Agustus – 29 September 2007
yang dilakukan di Desa Cibuntu, Cibitung Bekasi.
Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data sedangkan sumber data sekunder adalah
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,
misalanya lewat orang lain atau lewat dokumen. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan data primer dan sekunder. Data Primer diperoleh melalui
penyebaran angket dengan menggunakan kuesioner, sedangkan Data
sekunder diperoleh dari kartu identitas yang ada pada pasien.
Instrumen penelitian
Untuk mendapatkan data yang relevan, maka dalam penelitian ini
peneliti menggunakan kuesioner dengan pertanyaan tertutup dimana setiap
responden hanya memilih jawaban yang telah disiapakan oleh peneliti.
Pertama, instrument penelitian yang digunakan untuk mengukur variabel
independent “pola perawatan ibu pada anak TB primer” dengan
menggunakan skala nominal dengan ketentuan rendah (0-6), sedang (7-13),
baik (14-20). Untuk mengetahui pola perawatan ibu pada anak TB primer
peneliti menggunakan bentuk pertanyaan tertutup dengan ketentuan jawaban
“ya” dan “ tidak” dan diberi skor 1 jika jawaban YA dan 0 jika jawaban TIDAK.
kemudian hasil pengukurannya digolongkan dalam katagori rendah, sedang,
dan baik (Arikunto, 2006). Kedua, untuk mengukur variabel dependent “lama
perawatan anak usia 1-6 tahun” dengan menggunakan skala interval dengan
ketentuan sembuh cepat 6-9 bulan, sembuh sedang 10-12 bulan, sembuh
lambat >12 bulan.



HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian
1. Hasil Penelitian
a. Karesteristik Responden Penelitian
1) Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan.
Berdasarkan tabel 3 yang ada di atas dapat kita lihat
bahwasannya karakteristi responden berdasarkan tingkat
pendidikan terbanyak adalah SLTA yaitu 11 responden
(36,67%) orang, sedangkan untuk tingkat pendidikan terbanyak
kedua adalah SD yaitu 8 responden (26,67%), kemudian
responden yang tingkat pendidikannya SLTP ada 6 responden
(20%), sedangkan responden yang tingkat pendidikannya PT
(Perguruan Tinggi) yaitu 5 responden (16,66%).
2) Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu
Berdasarkan tabel 4 yang ada di atas dapat kita lihat
bahwasannya karakteristi responden berdasarkan Pekerjaan Ibu
terbanyak adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) yaitu 15 responden
(50%), sedangkan yang terendah adalah PNS yaitu 2
responden (6,67%).
3) Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak
Berdasarkan tabel 5 yang ada di atas dapat kita lihat
bahwasannya karakteristi responden berdasarkan Usia Anak
terbanyak adalah anak usia 3-4 tahun yaitu 11 responden
(36,67%), kemudian yang terendah yaitu usia 5-6 tahun
sebanyak 9 responden (30%).
4) Distribusi Responden Berdasarkan Pola Perawatan
Sumber Data: Data Primer 2007
Berdasarkan tabel 6 yang ada di atas dapat kita lihat
bahwasannya karakteristi responden berdasarkan pola
perawatan terbanyak adalah 18 responden (60%), sedangkan
untuk pola perawatan terbanyak kedua yaitu 12 responden
(40%).
5) Distribusi Responden Berdasarkan Lama Penyembuhan
Berdasarkan tabel 7 yang ada di atas dapat kita lihat
bahwasannya karakteristi responden berdasarkan lama
penyembuhan terbanyak adalah anak sembuh sedang 10-12
bulan yaitu 13 responden (43,33%), kemudian yang terendah
yaitu responden sembuh lambat >12 bulan sebanyak 8
responden (26,67%).
6) Tabulasi Silang Pola Perawatan dengan Lama Penyembuhan
Berdasarkan tabel 8 yang ada di atas dapat kita lihat dari
30 responden untuk pola perawatan mayoritas berpola
perawatan baik sebanyak 18 responden (60 %)




KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, sebagian
besar pola perawatan menunjukkan 18 responden (60%) berpola perawatan
baik, 12 responden (40%) berpola perawatan sedang. Kedua, sebagian besar
responden sebanyak 13 anak (43,33%) sembuh sedang 10-12 bulan. Ketiga,
Ada hubungan antara pola perawatan dengan lama penyembuhan pada anak
TB Paru primer dengan usia 1-6 tahun, hal ini berarti semakin baik pola
perawatan ibu maka semakin cepat proses waktu penyembuhan anak TB
Paru primer usia 1-6 tahun. Hasil uji korelasi Product Moment r hitung= 0,898
dengan taraf signifikan 0,05













DAFTAR PUSTAKA
Alsagaf, and Mukty, A. 1999, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga
University Press
Amin, S 2007. Jurnal Teknologi Kesehatan, vol 1 No. 2. Poltekes
Arikunto, S, 2006, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, Jakarta :
Rineka Cipta
Bahar, Asril., 2001 Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi Ketiga, Balai Penerbit
FK UI, Jakarta
DepKes RI, 2001, Pedoman Pemberantasan Tuberkolusis Paru, cet- 5, Ditjen
PPM & PLP Depkes,
Kusnarto, 1995, Faktor-Faktor Penatalaksanaan Penderita Tuberkolusis Paru
Dan Hasil Pengobatan, Thesis Program Pasca Sarjana, Fetp_ Ugm,
Yogyakarta
Ngatsiyah, 2003, Perawatan Anak Sakit, Cet. I EGC, Jakarta
Notoatmojo, S. 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT. Rineka Cipta, Jakarta
Riwidikdo, H. 2006, Statistik Kesehatan Belajar Mudah Teknik Analisis Data
Dalam Penelitian Kesehatan (Plus Aplikasi Software SPSS), Yogyakarta
Mitra Cendikia Press
Riswah, M, 2007, Mencegah Tuberkolusis, Jurnal Kesehatan Masyarakat vol
1 Number 2 pp 23-25 Surabaya
Sachrin Rosa M. Et.All Alih Bahasa : Maulany. 1999, Prinsip Keperawatan
Pediatrik, Edisi 13 EGC Jakarta



jurnal 2


Hubungan Kondisi Rumah Dengan Penyakit TBC Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul
Tahun 2003 – 2006

Oleh : *1Hariza Adnani dan ** Asih Mahastuti

ABSTRAK
Latar Belakang: Di Indonesia, ada 400 orang meninggal dalam sehari-hari karena Tuberkulosis Paru,
sehingga penanganan masalah Tuberkulosis Paru memerlukan perhatian serius. Kondisi rumah di
Puskesmas Karangmojo II adalah 93% sehat. Sehat rumah memiliki efek pada penyembuhan
dan kekambuhan penyakit TBC Paru. Berdasarkan data dari P2TB DIY, ada 76, 71%
kambuh kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kondisi rumah dan rumah
komponen risiko faktor penutup atap, lantai, dinding, ventilasi, pencahayaan, jendela, penghuni
kepadatan, dan lubang asap dapur dengan penyakit TBC Paru di Puskesmas Karangmojo II
Gunung Kidul Kabupaten tahun 2003-2006 tahun.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan studi kasus kontrol, hasilnya akan
dianalisis secara deskriptif analitik. Sampel penelitian ini adalah 88 rumah. Kasus
penelitian ini adalah pasien yang mendapat Tuberkulosis Paru dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 yang
berkedudukan di Puskesmas Karangmojo II 44 rumah. Di sisi lain, pasien yang
tidak mendapatkan Tuberkulosis Paru dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 yang berkedudukan di Puskesmas
Karangmojo II adalah 44 rumah. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 10.0 for window
dengan uji chi-quare dan derajat makna 95% atau,, a = 0 05 rekening Odds Ratio 95% CI.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan kondisi rumah dengan Lung
Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II provinsi Gunung Kidul sub-tahun 2003 -
Tahun 2006. Faktor tingkat rumah komponen risiko atap (OR: 5,27, 95% CI:
1,85 CI: 1,10 jendela (OR: 7,6; 95% CI: 2,31 1,55 OR: 9,13, 95% CI: 2,78 Kesimpulan: ada hubungan kondisi rumah dengan Tuberkulosis Paru di wilayah kerja
Puskesmas Karangmojo II Gunung Kidul sub-provinsi di tahun 2003-2006.
Kata kunci: Kondisi rumah, Tuberkulosis Paru


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang optimal. (UU No. 23 th. 1992). Menurut
HL. Blum (Azwar, 1996) derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah faktor lingkungan.
Kesehatan perumahan adalah kondisi fisik, kimia dan biologik di dalam
rumah di lingkungan rumah dan perumahan sehingga memungkinkan
penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal
(Dinas Perumahan DKI, 2006). Di Indonesia 400 orang meninggal setiap hari
karena TBC Paru, sehingga penanganan masalah TBC Paru perlu mendapat
perhatian serius. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa incident penyakit
ini lebih tinggi pada rumah tangga miskin. Perhitungan dampak ekonomi
akibat penyakit TBC Paru meliputi 2 hal, yaitu hilangnya waktu produktif
karena sakit dan hilangnya waktu produktif karena mati (Bakri, 2006). Dengan
demikian, masalah penyakit TBC Paru secara potensial akan menyebabkan
terjadinya kemiskinan dan sekaligus memperdalam tingkat kemiskinan.
(Pikas, 2006)
Berdasarkan survei pendahuluan yang telah penulis lakukan pada 14
rumah penderita TBC Paru di wilayah Puskesmas Karangmojo II tahun 2006
diketahui bahwa 13 rumah (93%) kondisinya tidak sehat. Kelompok
komponen rumah yang perlu mendapat perhatian adalah jendela kamar tidur,
jendela ruang keluarga, ventilasi, dan pencahayaan. Sebanyak 100%
menyatakan bahwa yang berpengaruh terhadap kesembuhan penyakit TBC
Paru hanya minum obat secara teratur, dan kondisi rumah yang sehat tidak
cukup penting mendukung kesembuhan mereka. Berdasarkan Latar Belakang
Masalah tersebut penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul
“Hubungan Kondisi Rumah Dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003-2006”,
dengan perumusan masalah adalah: “Apakah ada hubungan kondisi rumah
dengan penyakit TBC Paru di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II
Kabupaten Gunungkidul tahun 2003-2006?”.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah diketahuinya Hubungan Kondisi
Rumah dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo
II Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003-2006. Sedangkan tujuan khususnya
adalah : Pertama, diketahuinya besar Risiko Langit-langit Rumah dengan
Penyakit TBC Paru. Kedua, diketahuinya besar Risiko Dinding Rumah
dengan Penyakit TBC Paru. Ketiga, diketahuinya besar Risiko Lantai Rumah
dengan Penyakit TBC Paru. Keempat, diketahuinya besar Risiko Jendela
Kamar Tidur dengan Penyakit TBC Paru.Kelima, diketahuinya besar Risiko
Jendela Ruang Keluarga dengan Penyakit TBC Paru. Keenam, diketahuinya
besar Risiko Ventilasi dengan Penyakit TBC Paru. Ketujuh, diketahuinya
besar Risiko Lobang Asap Dapur dengan Penyakit TBC Paru. Kedelapan,
diketahuinya besar Risiko Pencahayaan dengan Penyakit TBC Paru.
Kesembilan, diketahuinya besar Risiko Kepadatan Penghuni dengan Penyakit
TBC Paru.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional mengunakan case
control study (penelitian kasus pembanding), yang hasilnya akan dianalisa
secara deskriptif dan analitik.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua rumah penderita TBC Paru
dari tahun 2003 sampai dengan 2006 yang berdomisili di wilayah kerja
Puskesmas Karangmojo II sebanyak 88 buah. Besarnya sampel kasus dalam
penelitian ini adalah total populasi kasus yang ada yaitu 44 rumah penderita
TBC Paru. Kontrol dalam penelitian ini adalah rumah tetangga penderita TBC
Paru yang tidak menderita TBC Paru, dari tahun 2003 sampai dengan 2006
dan berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II sebanyak 44
buah.
Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner A dalam penelitian ini terdiri
dari 9 item yang meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur,
jendela ruang keluarga, ventilasi, lobang asap dapur, pencahayaan,
kepadatan penghuni. Kuesioner B dalam penelitian ini terdiri dari 4
pertanyaan, yang meliputi anggota keluarga yang tertular penyakit TBC Paru,
pengetahuan tentang rumah sehat, pengetahuan tentang minum obat TBC
Paru, penyuluhan penyakit TBC Paru.
Cara Pengumpulan Data
Data Primer diperoleh dengan melakukan wawancara menggunakan
kuesioner terstruktur dengan responden yang menjadi subjek penelitian baik
terhadap kelompok kasus maupun kontrol. Sedangkan data sekunder berisi
tentang identitas kasus, diperoleh dari dokumen petugas Surveilans
Puskesmas Karangmojo II meliputi nama, umur, diagnosis, alamat tempat
tinggal.
Metode Analisa Data
Analisa dan penyajian data dengan beberapa cara yaitu : pertama, analisa
deskripsi dari variabel penelitian, untuk memberikan gambaran distribusi
frekuensi kasus berdasarkan variabel waktu, tempat dan orang. Penyajian
data dilakukan dalam bentuk narasi dan tabel. Kedua, analisa bivariat dengan
uji chi-quare dilakukan untuk mengetahui hubungan kondisi rumah pada
kelompok kasus dan kelompok pembanding, dengan derajat kemaknaan 95%
atau α = 0,05. Analisa data dengan menghitung nilai Odds Ratio untuk
mengetahui besarnya risiko masing – masing komponen rumah dengan
penyakit TBC Paru di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II, Kabupaten
Gunungkidul Tahun 2003-2006.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil analisa bivariat hubungan kondisi rumah dengan
penyakit TBC menunjukkan, bahwa sebagian besar responden rumahnya
tidak sehat yaitu 66 rumah (75%). Pada kelompok kasus sebanyak 40
rumah (91%) dan pada kelompok pembanding 26 rumah (59%). Dari analisa
tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 6,92 ( 95% CI 2,105-22,771),
dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk
menderita TBC Paru 6 -7 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada
rumah yang kondisinya tidak sehat.
Berdasarkan langit-langit rumah responden, sebagian besar tidak
memenuhi syarat yaitu 65 rumah (73,9%). Pada kelompok kasus sebanyak
40 rumah (91%) dan pada kelompok pembanding 25 rumah (56,8%). Dari
analisa tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 5,27 ( 95%CI : 1,85-
15,01), dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk
menderita TBC Paru 5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada
rumah yang langit – langit rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan.
Berdasarkan dinding rumah responden, sebagian besar dindingnya
tidak memenuhi syarat yaitu 68 rumah (77,3%), pada kelompok kasus
sebanyak 40 rumah (91%) dan pada kelompok pembanding 28 rumah
(56,8%). Dari analisa tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 6,95 (
95%CI 2,54 - 18,98) dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa
risiko untuk menderita TBC Paru 6 -7 kali lebih tinggi pada penduduk yang
tinggal pada rumah yang dinding rumahnya tidak memenuhi syarat
kesehatan.
Berdasarkan lantai rumahnya, sebagian besar responden lantai
rumahnya tidak memenuhi syarat yaitu 72 rumah (81,8%), pada kelompok
kasus sebanyak 40 rumah (91%) dan pada kelompok pembanding 32 rumah
(72,7%). Dari analisa tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 3,75 (95%
CI :1,10-12,74) dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko
untuk menderita TBC Paru 3 – 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal
pada rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat kesehatan.
Berdasarkan jendela kamar tidur responden menunjukkan bahwa
sebagian besar jendela kamar tidur rumahnya tidak ada yaitu 66 rumah
(75%), pada kelompok kasus sebanyak 40 rumah (91%) dan pada
kelompok pembanding 26 rumah (59%). Dari analisa tabulasi silang diperoleh
odds ratio sebesar 6,92 (95%CI : 2,10-22,77) dengan hasil OR tersebut
dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk menderita TBC Paru 6 -7 kali lebih
tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang jendela kamar tidurnya
tidak ada.
Berdasarkan jendela ruang keluarga responden penelitian sebagian
besar tidak ada yaitu 68 rumah (77%), pada kelompok kasus sebanyak 40
rumah (91%) dan pada kelompok pembanding 28 rumah (60%). Dari analisa
tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 7,6 ( 95% CI 2,31-24,94) dengan
hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk menderita TBC
Paru 7 - 8 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang
jendela ruang keluarganya tidak ada.
Berdasarkan ventilasi rumah responden sebagian besar tidak
memenuhi syarat yaitu 69 rumah (78%), pada kelompok kasus sebanyak 40
rumah (91%) dan pada kelompok pembanding 29 rumah (66%). Dari analisa
tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 5,17 ( 95%CI 1,55-17,20)
dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk
menderita TBC Paru 5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada
rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat.
Berdasarkan lobang asap dapur rumahnya sebagian besar tidak
memenuhi syarat yaitu 72 rumah (82%), pada kelompok kasus sebanyak 40
rumah (91%) dan pada kelompok pembanding 32 rumah (72,7%). Dari
analisa tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 4,66 ( 95%CI 1,39-15,61)
dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk
menderita TBC Paru 5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada
rumah yang lobang asap dapurnya tidak memenuhi syarat kesehatan.
Sebagian besar pencahayaan rumah responden tidak memenuhi
syarat yaitu 66 rumah (75%), pada kelompok kasus sebanyak 40 rumah
(91%) dan pada kelompok pembanding 26 rumah (59%). Dari analisa tabulasi
silang diperoleh odds ratio sebesar 9,13 (95%CI :2,78-29,89) dengan hasil
OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk menderita TBC Paru 9
kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang pencahayaan
tidak memenuhi syarat kesehatan (tabel 1)
Responden penelitian yang penghuni rumahnya tidak padat yaitu 86
rumah (97,3%), dengan perincian pada kelompok kasus sebanyak 43 rumah
(98%) dan pada kelompok pembanding 43 rumah (98%). Responden yang
penghuninya padat ada 2 rumah (2,3%) yaitu pada kelompok kasus 1 dan
kelompok pembanding 1. Dari analisa tabulasi silang diperoleh odds ratio
sebesar 1 ( 95%CI: 0,61 – 16,508) dengan hasil OR tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa risiko untuk menderita TBC Paru 0,6 kali lebih tinggi
pada penduduk yang tinggal pada rumah yang penghuni padat.
Sebagian besar responden penelitian anggota keluarganya tidak
tertular penyakit TBC Paru, yaitu sebanyak 85 orang (97%). (tabel 2).
Sebagian besar responden penelitian berpendapat bahwa rumah sehat tidak
dapat mempercepat kesembuhan mereka dari penyakit TBC Paru yaitu 54
orang (61,4%) pada kelompok kasus sebanyak 29 orang (66%) dan pada
kelompok pembanding 25 orang (57%). (tabel 3). Sebagian besar responden
penelitian berpendapat bahwa minum obat teratur dapat mempercepat
kesembuhan mereka dari penyakit TBC Paru yaitu 78 orang 88,6%) pada
kelompok kasus sebanyak 43 orang (97,7%) dan pada kelompok
pembanding 35 orang (79,5%). (tabel 4). Sebagian besar responden
penelitian pernah mendapat penyuluhan penyakit TBC Paru yaitu 34 orang
(38,6%) pada kelompok kasus sebanyak 21 orang (48%) dan pada
kelompok pembanding 13 orang (29,5%).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, ada Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul Tahun
2003-2006. Kedua, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru
maupun pembanding yang langit – langit rumahnya tidak memenuhi syarat
kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 5 kali lebih tinggi jika
dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang langit – langit
rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Ketiga, besarnya risiko penghuni
rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang dinding rumahnya
tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru
sebesar 6 - 7 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada
rumah yang dindingnya memenuhi syarat kesehatan. Keempat, besarnya
risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang lantai
rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC
Paru sebesar 3 - 4 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal
pada rumah yang lantainya memenuhi syarat kesehatan. Kelima, besarnya
risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang jendela
kamar tidurnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena
TBC Paru sebesar 6 - 7 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang
tinggal pada rumah yang jendela kamar tidurnya memenuhi syarat
kesehatan. Keenam, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru
maupun pembanding yang jendela ruang keluarganya tidak memenuhi syarat
kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 7 - 8 kali lebih tinggi
jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang jendela ruang
keluarganya memenuhi syarat kesehatan. Ketujuh, besarnya risiko penghuni
rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang ventilasi rumahnya
tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru
sebesar 5 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada
rumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan. Kedelapan, besarnya
risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang lobang
asap dapurnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena
TBC Paru sebesar 4 -5 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang
tinggal pada rumah yang lobang asap dapurnya memenuhi syarat
kesehatan. Kesembilan, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru
maupun pembanding yang pencahayaan rumahnya tidak memenuhi syarat
kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 9 kali lebih tinggi jika
dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang pencahayaan
rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Kesepuluh, besarnya risiko penghuni
rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang penguninya padat
mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 1 kali atau sebanding pada
penduduk yang tinggal pada rumah yang penghuninya tidak padat.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, UF, 2005, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta, Kompas
Alkadri, Wan, 2003, Prosedur Kerja Surveilans Faktor Risiko Penyakit
Menular dalam Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular
Terpadu Berbasis Wilayah, Jakarta, Direktorat Penyehatan Lingkungan
Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan
Lingkungan
Arora, V.K., Lonnroth, K & Sarin, R. Improved Case Detection of Tuberculosis
through a Public-Private Partnership. Indian Journal of Chest Disease
& Allied Science. 2004; 46: 133-6
Aziz,A, 2006. Pencapaian Cakupan Program TBC Tribulan II Tahun 2006,
Gunungkidul, Seksi Dalkit Sub.Din.P2MPL
Azwar, A., 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Mutiara Sumber
Widya, Jakarta.
Bakri, 2006, Penanganan Masalah TBC Paru, Jakarta, dalam http: //
www.bkkbn.go.id
Demissie, M, Lindtjorn, B, & Berhane, Y. Patient and Helath Service Delay in
the Diagnosis of Pulmonary Tuberculosis in Ethiopia.Biomedcentral
Public Health. 2002 ; 2(23) : 1-7
Depkes, RI., 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
Jakarta.
Dudeng, D, 2005, Faktor – faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Tuberkulosis Pada Anak di Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Tesis S2, UGM, Yogyakarta
Fitriatun, S, 2002, Kondisi Rumah Sebagai Faktor Risiko Tuberkulosis Paru
Pada Balita yang Berkunjung di BP4 Semarang, Tesis S2, UNDIP,
Semarang
Gunawan, K, 2003, Petunjuk Teknis Penilaian Rumah Sehat, Yogyakarta,
Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosia; Propinsi DIY
Kasjono, HS, 2005, Dasar-Dasar Penelitian, Yogyakarta, STIKES RESPATI
Menkes RI, 1999, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,
Jakarta
Murthy, K.J.R., Frieden, T.R., Yazdani,A., Hreshikesh,P., 2001. Public-Private
Partnership in Tuberculosis Control : Experience in Hyderabad, India.
The Internastional Journal of Tuberculosis in Ethiopia. Biomedcentral
Public Health. 2002; 2(23) : 1-7
Nuraini, Endang, 2001, Buku Petunjuk Praktis Bagi Petugas Pelaksana
Penanggulangan Tuberculosis Di Unit Pelayanan Kesehatan, Jakarta,
Depkes RI
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia, 2004, Sekilas Tentang
Penyakit TBC, Jakarta
Pikas, 2006, 400 orang meninggal setiap hari karena TBC, Jakarta, dalam
http : //www.bkkbn.go.id
Rachmat, Haikin, 2004, Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed
Dose Combination (OAT-FDC), Jakarta, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Rajeswari, R, Chandrasekaran V., Suhader, M., Siva Subramaniam S.,
Sudha,G., Renu.G. Factors Associated with Patient and Health System
Delays in The Fiagnosis of Tuberculosis in South India. The
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 2002; 6 (9) :
789-95
Sekretariat Negara, Undang-undang RI No. 23 Tahun 1982, Jakarta, Sinar
Grafika, 1992
Sugiono, 2002, Statistik Untuk Penelitian, Bandung, Alfabeta
Siswono, 2006, Cegah Penyakit Menular dengan Hidup Sehat, Jakarta,
dalam http: //www.replubika.co.id
Suklan, 1999, Petunjuk Teknis Penyuluhan Program Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Bagi Petugas Puskesmas, Jakarta, Depkes RI
Tjandra, 2006, Tindak Lanjut TBC, Jakarta, dalam http: //www.bkkbn.go.id
______, 2006, Syarat Rumah Sehat untuk Penderita Penyakit TBC, Jakarta,
dalam http : // www. jakarta.go.id/ dinasperumahan/ index2.php